Skip to main content

ANALISIS BUKU NON FIKSI

1. Judul: Filosofi Teras

2. Penulis:  Henry Manampiring

3. Jumlah halaman: 346 halaman

4. Tema: Tema buku Filosofi Teras tentang bagaimana mengatasi emosi negatif dan mengembangkan ketahanan mental.

5. Sinopsis: Buku ini pada awalnya menceritakan tentang sebuah survei kekhawatiran nasional yang semakin masif sekaligus menyajikan tentang sekilas kehidupan si penulis yang dipenuhi oleh emosi negatif yang berlebihan. Lalu, lebih dari 2000 tahun lalu sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan solusi dari banyaknya emosi negatif. Stoisisme atau Ya, filosofi Stoa, namun penulis lebih memperkenalkannya dengan "Filosofi Teras" yang merupakan filsafat Yunani-Romawi Kuno yang dapat membantu kita dalam mengatasi emosi negatif serta menghasilkan mental seseorang menjadi tangguh dalam menghadapi naik turunnya kehidupan. Dalam buku tersebut, filsafat Stoa digambarkan secara sederhana dengan inti dikotomi kendali nasib manusia sehingga dari dikotomi kendali tersebut, manusia dapat menentukan hal-hal yang dapat membuatnya bahagia maupun tidak. Namun, Wiliam Irvine menawarkan trikotomi kendali di mana memuat apa yang menjadi kendali kita, tidak menjadi kendali kita, dan juga menjadi bagian dari kendali kita. 

Buku Filosofi Teras ini sangat berbeda dengan buku filsafat lainnya karena filosofi teras (Stoa) digambarkan dengan analogi kejadian yang real di kehidupan sehari-hari dan penggunaan bahasa yang sesuai dengan Generasi Milenial dan Gen-Z. Hal yang menarik dari Filosofi Teras ini terletak pada tujuannya yaitu hidup dalam ketenangan dan terbebas dari emosi negatif. Oleh karena itu, pada setiap bab Filosofi Teras terdapat pelajaran yang diambil, salah satunya yaitu dalam menjalani kehidupan harus selaras dengan alam. Di mana kehidupan berjalan sesuai kehendak pencipta-Nya dan selaras dengan alam itu berarti kita harus mengandalkan akal kita agar tidak terbawa arus yang menyimpang. Apalagi sekarang ini banyak di antara kita yang menggunakan medsos dan sering ditemui berita hoaks, sehingga kita tidak boleh terbawa emosi dan tidak baperan. Satu hal yang haru kita ingat, jangan terlalu memikirkan hal yang belum terjadi ke depannya, biarkan berjalan sebagaimana mestinya, namun tetap diiringi dengan effort supaya mendapat hasil yang maksimal.

6. Tokoh: 

  1. Marcus Aurelius - Kaisar Romawi dan filsuf Stoik yang menulis Meditations, sebuah catatan pribadinya tentang bagaimana menjalani hidup dengan bijaksana.
  2. Seneca Seorang filsuf, negarawan, dan penulis yang mengajarkan bagaimana menghadapi kesulitan hidup dengan tenang.
  3. Epictetus - Seorang mantan budak yang menjadi filsuf Stoik terkenal, mengajarkan bahwa kebahagiaan berasal dari cara kita merespons peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri.
  4. Henry Manampiring - Penulis buku ini, yang membagikan pengalamannya dalam menerapkan Stoisisme dalam kehidupan modern.

7. Sudut pandang: Buku ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama karena Henry Manampiring membagikan pengalaman pribadinya dalam mengenal dan menerapkan Stoisisme. Namun, dalam menjelaskan filsafat Stoik, ia juga menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk menguraikan pemikiran para filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus.

8. Amanat: 

  1. Fokus pada hal yang bisa dikendalikan – Jangan membuang energi untuk hal-hal di luar kendali kita.
  2. Emosi bukanlah kenyataan – Kita bisa mengendalikan bagaimana kita merespons suatu peristiwa agar tidak terjebak dalam stres atau kemarahan.
  3. Terima hidup apa adanya (Amor Fati) – Belajarlah menerima setiap kejadian dalam hidup, baik atau buruk, sebagai bagian dari perjalanan yang harus dilalui.
  4. Ingat bahwa hidup ini singkat (Memento Mori) – Kesadaran akan kematian membuat kita lebih menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakan hidup.
  5. Kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri – Jangan bergantung pada faktor eksternal untuk bahagia, tetapi temukan kedamaian dalam cara berpikir dan bertindak yang bijaksana.

Comments

Popular posts from this blog

SENI MAKANAN TRADISIONAL : PERPADUAN RASA, BUDAYA, DAN TRADISI

  Makanan tradisional lebih dari sekadar hidangan. Di balik kelezatannya, tersimpan kisah panjang yang mencerminkan identitas budaya, nilai-nilai tradisi, dan keindahan seni memasak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Indonesia, dengan kekayaan etnis dan ragam budaya, menjadikan seni makanan tradisional sebagai salah satu warisan yang sangat berharga. Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri, baik dari bahan, teknik memasak, hingga filosofi yang terkandung di dalamnya. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana seni makanan tradisional menjadi simbol perpaduan rasa, budaya, dan tradisi yang memperkaya kehidupan masyarakat. Rasa sebagai Identitas Seni makanan tradisional tidak bisa dipisahkan dari rasa. Setiap masakan tradisional memiliki ciri khas rasa yang mencerminkan daerah asalnya. Misalnya, kuliner Minang seperti rendang dan gulai identik dengan rasa pedas dan kaya rempah, mencerminkan karakter masyarakatnya yang kuat dan berani. Sebaliknya, masakan Jawa seper...

MENELUSURI JEJAK RENDANG : DARI TRADISI KE DUNIA

   Rendang, sebuah hidangan tradisional khas Minangkabau, telah menjadi ikon kuliner Indonesia yang mendunia. Hidangan ini tidak hanya memikat karena rasanya yang kaya, tetapi juga karena nilai sejarah, budaya, dan filosofinya yang dalam. Dari dapur tradisional Minangkabau hingga daftar makanan terbaik dunia, rendang menyimpan kisah panjang yang patut kita telusuri. Asal Usul Rendang Rendang berasal dari Sumatera Barat, tempat masyarakat Minangkabau menetap. Hidangan ini berakar pada tradisi memasak yang erat kaitannya dengan nilai-nilai adat dan budaya. Dalam tradisi Minangkabau, memasak rendang bukan sekadar aktivitas kuliner, melainkan juga bentuk ekspresi budaya dan filosofi hidup. Rendang awalnya berkembang sebagai makanan yang tahan lama. Dalam masyarakat agraris Minangkabau, di mana transportasi dan penyimpanan makanan menjadi tantangan, rendang menjadi solusi yang sempurna. Proses memasak yang lama dengan santan dan rempah-rempah menghasilkan makanan yang awet hingga b...

ANALISIS BUKU FIKSI

1. Judul: Elegi Haekal 2. Penulis: Dhia'an Farah 3. Jumlah halaman: 300 halaman 4. Tema: Tema yang terdapat pada novel Elegi Haekal adalah tema percintaan seorang anak SMA yang berbalut problem di dalamnya. Elegi haekal menceritakan kisah seorang anak yang berusaha mencari kasih sayang dan simpati dari mamanya. 5. Sinopsis: Haekal Hanasta adalah mahasiswa hukum yang baru berusia 17 tahun. Haekal dikenal sebagai sosok lelaki yang tampan dan berkharisma. Namun, di balik kelebihannya itu, Haekal menyimpan banyak masalah besar di baliknya. Haekal tidak pernah merasakan kasih sayang dari sang ibu. Di usianya yang sudah remaja, jika banyak anak seumurannya sedang dalam masa pubertas dan risih bila diberikan terlalu banyak perhatian oleh orang tuanya, Haekal justru sangat mendambakan hal itu. Haekal rela melakukan apa pun untuk sekali saja, hanya sekali, mendapatkan kasih sayang dari sang Mama. Dan dia tidak membutuhkan apa-apa lagi. Haekal rela melakukan banyak hal supaya sang ibu bisa m...